Kamis, 24 November 2011

Mitos Makanan



Di masa kini, orang mulai memilih-milih makanan yang akan dikonsumsinya dengan pertimbangan masalah kesehatan. Ada beberapa jenis makanan atau bahan makanan yang diyakini masyarakat dapat meningkatkan kesehatan kita, sementara jenis makanan lainnya diyakini dapat memperburuk kesehatan. Keyakinan yang dimiliki masyarakat tersebut sebagian besar berasal dari kepercayaan turun-temurun (pandangan emik). Sehingga terkadang hasil penelitian lebih lanjut membuktikan fakta yang sebaliknya (pandangan etik). Berikut ini adalah beberapa jenis makanan yang manfaat maupun dampaknya diketahui masyarakat, namun memiliki hasil yang berbeda saat ditelaah pandangan etiknya.
1.    Konsumsi telur dapat meningkatkan kolesterol
Masyarakat sekarang berpikir bahwa sering-sering mengonsumsi telur dapat meningkatkan kadar kolesterol. Padahal hal tersebut tidak benar. Telur memang mengandung kolesterol, namun kolesterol dalam telur tidak mempengaruhi jumlah kolesterol dalam darah. Don Layman, PhD., seorang profesor di Fakultas Ilmu Makanan dan Nutrisi, Universitas Illnois menyatakan, “Riset tidak pernah menunjukkan hubungan antara konsumsi telur dengan risiko penyakit jantung atau penyumbatan pembuluh darah.”
Jadi, kini kita bisa menikmati telur baik untuk saran, makan siang, dan makan malam, tanpa rasa khawatir kolesterol dalam darah akan melonjak.

2.    Garam menyebabkan tekanan darah tinggi
Pada 1940, peneliti dari Duke University, bernama Walter Kempner, M.D., menjadi terkenal karena keberhasilan dalam merawat pasien darah tinggi dengan mengurangi kadar garam dalam makanannya. Sehingga disimpulkan bahwa dengan mengurangi garam, tekanan darah tinggi bisa berkurang.
Penemuan dan penelitian ulang besar-besaran yang belakangan dilakukan malah menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi orang dengan tekanan darah normal untuk menahan asupan natrium mereka. Sedangkan jika Anda memiliki tekanan darah tinggi, kemungkinan besar, Anda adalah orang dengan sensitifitas ekstra terhadap garam. Sebagai hasilnya, jika mengurangi garam, maka penderita darah tinggi akan lebih terbantu.
Selama 20 tahun belakangan, penderita darah tinggi tidak harus menurunkan konsumsi garam, hanya mengganti garam dengan bahan makanan yang mengandung banyak kalium. Mengapa? Karena sebenarnya keseimbangan antara kedua mineral itulah yang lebih penting. Bahkan seorang peneliti dari Belanda berhasil meneliti bahwa konsumsi kalium yang rendah, memiliki efek yang sama seperti dampak konsumsi garam yang tinggi.
Intinya, cobalah mengubah variasi konsumsi Anda ke makanan tinggi kalium, yang bisa Anda capai dengan memakan banyak sayuran, buah dan kacang-kacangan. Misalnya bayam, brokoli, pisang, kentang dan sebagian besar kacang-kacangan seperti tempe atau kedelai yang mengandung kalium tinggi.


3.    Makanan Protein Tinggi Berbahaya Bagi Ginjal
Pada 1983, para peneliti menemukan bahwa dengan mengkonsumsi lebih banyak protein akan membuat GFR atau "Glomerural Filtratoin Rate" alias kecepatan penyaringan darah dalam ginjal meningkat. Penemuan ini, menurut para peneliti, mengatakan bahwa ginjal Anda berada dalam kondisi
bekerja keras, dan akibatnya ginjal akan tertekan.
Hampir dua dekade lalu, seorang peneliti dari Belanda menemukan bahwa memakan makanan dengan kadar protein tinggi akan meningkatkan GFR, tapi bukan berarti mengganggu efek kerja ginjal atau membebani ginjal. Bahkan pada kenyataannya, tidak ada penelitian yang mengaitkan tingginya konsumsi protein (bahkan sampai 2,5 gram per kg berat badan) dengan gangguan pada kesehatan ginjal.
Intinya, arahkan kadar protein sesuai dengan target berat badan anda. Misalnya, berat badan Anda 100 kg, dan ingin turun ke 90 kg, maka atur agar asupan protein Anda adalah 180 gram (dua kali target berat badan, dibagi 1000). Tapi jika misalnya berat badan Anda 75 kg, dan Anda ingin mendapat berat badan 90 kg, maka usahakan agar asupan protein anda juga 180 gram.

4.    Daging Merah Penyebab Kanker
Pada suatu penelitian di tahun 1986, peneliti dari Jepang menemukan bahwa tikus yang diberi makan "amina heterosiklik", senyawa yang muncul ketika daging dimasak terlalu matang pada suhu tinggi, memiliki pertumbuhan sel kanker. Semenjak saat itu, berbagai studi bermunculan mengenai kemungkinan adanya hubungan antara daging dan kanker.
Sebenarnya tidak ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara konsumsi daging merah dan kanker. Studi yang ada sebenarnya masih jauh dari kata valid, karena data yang diambil hanya menunjukkan adanya kecenderungan pola makan seseorang, dan kondisi kesehatan yang muncul akibat pola makan tadi. Tidak sesederhana itu untuk mengambil kesimpulan yang ada secara langsung.
Jangan takut memanggang, atau makan sate, burger atau steak. Apalagi sampai memaksakan diri tidak makan daging sama sekali. Masih aman, cukup buang saja bagian-bagian yang gosong di sate atau burger atau steak Anda, sebelum Anda makan. Karena bagian yang gosong itu dapat memicu kanker.

5.    Makanan yang jatuh ‘belum 5 detik’ masih aman dinikmati
Makanan yang jatuh tidak bisa ditoleransi walaupun hanya 1 detik saja. Bakteri yang ada di permukaan lantai yang telah terkontaminasi sangat cepat masuk ke dalam makanan yang jatuh, bahkan lebih cepat dari gerakan refleks Anda.
Dalam sebuah penelitian, seorang ahli makanan di Clemson University, Paul Dawson, Ph.D., bersama para siswanya mengontaminasi permukaan lantai dengan bakteri Salmonella. Setelah itu, mereka menjatuhkan dua potong roti di atas lantai tersebut. Apa yang terjadi? Setelah 5 detik, sepotong roti diambil dan diamati. Hasilnya, terdapat sekitar 1800 bakteri di dalam roti tersebut. Kemudian, potongan yang lain diamati setelah 60 detik dan hasilnya terdapat bakteri sepuluh kali lipat lebih banyak dari potongan roti sebelumnya.

6.    Memberi minum air putih pada bayi
Bayi berusia dibawah 6 bulan sebaiknya jangan pernah diberikan air untuk diminum, begitu yang diingatkan oleh para ilmuwan dari John Hopkins children’s center di Baltimore kepada para orang tua. Dengan mengkonsumsi air terlalu banyak dapat meningkatkan kondisi yang berbahaya pada bayi, atau yang disebut sebagai intoksikasi air. Walaupun bayi sangat kecil, mereka memiliki refleks haus atau perangsang untuk minum. Ketika mereka merasa haus dan ingin minum, cairan yang diperlukan untuk diminum adalah ASI (Air Susu Ibu) atau susu formula. Demikian yang dijelaskan oleh dr. Jennifer Anders, seorang ahli kegawatdaruratan anak dari John Hopkins children’s center.
Karena ginjal bayi belum matang, dengan memberi mereka banyak air akan menyebabkan tubuh mereka mengeluarkan natrium akibat kelebihan cairan. Kehilangan natrium dapat mempengaruhi aktifitas otak, sehingga gejala awal dari intoksikasi air adalah iritabilitas (merengek-rengek), mengantuk dan perubahan mental lainnya. Gejala lain yang dapat muncul adalah menurunnya suhu tubuh, edema atau bengkak disekitar wajah dan kejang. 
Gejala awal yang muncul memang terkadang kurang jelas, sehingga orang tua baru menyadari ketika bayi mereka kejang. Namun, dengan penanganan yang cepat, gejala kejang kemungkinan tidak akan muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar