Sabtu, 03 Desember 2011

Ketika Kesempatan Tak Bertemu dengan Kesiapan


Pernah dengar gak kata-kata seperti ini??
“Keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan”
Ya, keberuntungan. Kita pasti pernah mengalaminya di mana saja. Namun, ada kalanya saat kesempatan itu muncul, kita justru tak memiliki kesiapan apa-apa. Apakah itu bisa disebut kesialan? Hm.. Sebagian dari kita pasti berpikiran begitu. Kalau saya pribadi, menganggap ketidaksiapan itu sebagai pelajaran hidup yang bisa dipetik hikmahnya, kemudian akan saya bagi kepada orang-orang.
Saya pernah mengalami kejadian yang tidak bisa saya lupakan. Ini ada hubungannya dengan ketidaksiapan saya untuk menolong orang.
Kejadiannya ketika saya masih di semester 2. Waktu itu saya bermaksud berangkat kuliah. Saya naik angkot dari depan rumah. ±5 menit kemudian, angkot berhenti di Pasar Batangase untuk mencari penumpang. Saya melihat-lihat di depan pasar, apakah ada penumpang yang hendak naik. Lalu saya melihat orang itu. Baru saja turun dari angkot jurusan Kariango-Pasar Batangase. Seorang pemuda berbaju putih krem yang tampak aneh. Dia terus saja melihat ke sekeliling dengan tatapan gelisah. Sesekali dia melihat ke arah secarik kertas yang ada dalam genggamannya. Kemudian dia menghampiri angkot yang saya tumpangi dan berbicara dengan pak sopir dengan nada yang saangatt sopan.
“Permisi pak, saya boleh numpang gak? Saya ndak punya uang. Baru keluar dari panti rehabilitasi narkoba.” (saya juga tidak tau asalnya darimana karena dia tidak punya logat orang Makassar)
Seisi mobil seketika terdiam mendengarnya. Termasuk saya yang cukup terkejut. Lalu dia mengulangi.
“Saya boleh numpang gak? Soalnya saya gak punya uang. Saya baru keluar dari panti rehabilitasi narkoba.” Lalu pak sopir terlihat sedikit menimbang-nimbang, lalu berkata.
“Ya, naikmi” rupanya pak sopir ini baik hati.
“Terima kasih ya, Pak. Terima kasih banyak..”
 Tak lama kemudian angkot pun mulai berjalan. Sesekali saya melirik pemuda itu. Dia masih gelisah sambil menatap secarik kertas kecil di tangannya. Saya bisa melihat ekspresi ketakutan wanita yang duduk di kiri pemuda itu. Sementara pria yang duduk di sisi kanannya menggeser duduknya sedikit menjauh. Saya tidak berani membayangkan apa yang dipikirkannya. Kemudian pemuda yang tampak putus asa itu bertanya pada wanita di sebelahnya.
“Kalo dari sini ke Jl. Haji Bau sama ke Jl. Sultan Alauddin jauhan mana ya?”
Reaksi wanita itu hanya pura-pura tidak mendengar. Saya sedikit kecewa dengan wanita itu. Lalu saya yang duduk di depan pemuda itu menjawabnya.
“Kalo Sultan Alauddin nanti bisa lewat Pettarani. Kalo Haji Bau jalannya masih terus lagi” (yah, dengan penjelasan yang aneh, saya menjawab).
“Ooh. Kalo begitu lebih deket ke Sultan Alauddin daripada ke Haji Bau, ya?”
“Hm.. Kayaknya.” (yah, saya kan tidak pernah mengukur jalan)
Pemuda itu lalu melihat lagi kertas di tangannya. Mungkin kertas itu berisi pilihan dua alamat yang hendak ditujunya. Lalu dia bertanya lagi ke saya. (kayaknya dia sadar orang di sampingnya ketakutan)
“Kalo dari sini mau ambil angkot ke Sentral di mana ya?”
“Oh, nanti di depan, masih jauh dari sini.”
“Hm.” Dia manggut-manggut, lalu melihat lagi kertasnya. Kemudian berkata lagi.
“Nanti tolong dikasih tau, ya turunnya di mana?”
“Oh iya.”
20 menit kemudian mobil sampai di Sudiang, lalu saya turun. Lalu saya memanggil pemuda itu untuk turun juga.
“Turun di sini saja.”
“Oh, di sini?”
“Iya.” lalu dia turun sambil tak lupa mengucap terima kasih pada pak sopir.
Saya melihat ekspresi bingung di wajahnya sambil terus menatap kertas kecil di tangannya. Kemudian saya bertanya,
“Sudah ini mau ke mana?”
“Saya mau naik angkot ke Sentral, tapi harus cari yang boleh numpang dulu. Soalnya saya tidak punya uang.”
“Oh. Kalau begitu, saya duluan.”
“Iya, terima kasih.” Lalu saya naik angkot lain menuju kampus.
Dalam hati saya menyesal kenapa kemarin tidak mengambil uang di ATM biar saya punya uang lebih hari ini. Saya hanya menyisakan uang secukupnya untuk ongkos transport PP kampus-rumah. Dalam angkot saya gelisah karena saya tidak bisa membantu pemuda itu.
Sepanjang jalan menuju kampus saya terus terpikir pemuda itu. Saya mendapat kesempatan yang sangat langka. Namun saya tidak punya kesiapan.
Dalam perjalanan baru terpikirkan, mengapa saya tidak memberikan uang ongkos pulang saya saja? Setidaknya saya masih bisa sampai di kampus. Nanti baru saya ambil uang di ATM. Ah, bodoh! Bodoh sekali. Kenapa baru terpikir sekarang? Setidaknya uang itu bisa sedikit berguna untuk dia sampai ke Sultan Alauddin.
Tanpa sadar saya meneteskan air mata, yang segera saya hapus sebelum dilihat orang. Saya sangat menyesal mengapa saya tidak membantu pemuda itu. Saya tidak punya keberuntungan. Saya mendapat kesempatan yang sangat langka, tapi tidak memiliki kesiapan. Atau lebih tepatnya saya (dan kebodohan saya) terlambat menemukan kesiapan yang saya miliki.
Kemudian saya berdoa, ya Allah, semoga ada angkot yang mau mengantarnya. Semoga dia selamat sampai di tujuan. Semoga dia menemukan alamat yang dicarinya. Semoga dia baik-baik saja sampai sekarang. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar