Rabu, 29 Mei 2013

그분이와 나 Part.3

Okay, di sini kita masuk part yang cukup ngenes.
-flashback-
Sebelumnya, saya sudah bercerita bagaimana saya bisa jadian dengan 그분. Sekarang saya akan melanjutkan cerita bagaimana kita bisa putus. Yup, kami udah putus.
Saya tidak tau apa saya yang berlebihan dalam menanggapi hubungan ini, atau dia yang terlalu cuek. Yang saya tau, dia berubah. Kata orang, kalau kita menganggap orang lain itu berubah, maka sebenarnya kita lah yang berubah. Lalu apa yang saya harus lakukan? Saya tidak bisa menemukan perubahan pada diri saya sendiri. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri. Saya cuma bisa menemukan kalau semakin hari semakin saya tidak dianggap. Semakin dicuekin, diacuhkan, tidak diperhatikan lagi.
Faktor jarak mungkin yang paling berperan. Karena kita LDR. Dulu, saya pikir, tidak apa-apa. Saya akan terus menjaga semuanya, agar tidak ada masalah yang berarti. Itu berhasil saya lakukan. Selama 1 tahun pertama. Jujur, saya juga pernah curiga, jangan-jangan dia sudah jatuh cinta lagi di sana. Atau jangan-jangan saya menjadi terlalu membosankan sekarang. Tapi saya berusaha sebisa saya untuk menjauhkan pikiran-pikiran itu. saya orang dengan mental lemah. Kalian tidak akan bisa membayangkan seberapa besarnya perang batin dalam diri saya. Nyesek banget. Saya seperti kehabisan air mata, kehabisan kata-kata.
Setahun berlalu, dia mulai jarang kirim kabar. Saya yang panikan, hanya bisa bersabar. Sekali lagi ada yang berkecamuk dalam batin saya. Rasanya ingin protes. Ingin marah. Ingin meluapkan segalanya. Tapi tiap kali saya berusaha membuat percakapan, selalu saja ada hambatan. Entah masalah pulsa. Masalah waktu yang tidak tepat. Atau sibuk. Yang jelasnya saya selalu gagal bercerita. Ujung-ujungnya, saya jadi cerita yang tidak jelas, dan tidak penting. Sekedar mencari perhatian. Soalnya saya juga tipe orang yang suka mengatakan hal yang sebaliknya sih. jadi untuk jujur, itu butuh usaha yang lebih. Hm.. mungkin itu yang bikin saya sampai menyebutnya "perang batin"?
Entah kenapa, rasanya beban yg saya tanggung waktu itu begitu berat. Menunggu dan menunggu kabar dari dia. Tapi tidak ada satu pun. Kemudian, saya kirim saja sms “I love you”, atau “I miss you” tiap malam. Karena saya capek menunggu sesuatu yg tdk mungkin datang. Rasanya seperti dia tidak akan mengirim apa2. Jangankan telpon, sms saja harus menunggu sampai seperti ini. Impossible. Ngenes banget ya saya.
Kemudian, saya mendapat ide baru. ;)
Saya biarkan saja dia tidak mendapat sms apa-apa. Siapa tau nanti dia akan mencari, dan akhirnya menanyakan saya. Ini sih ngarep yg sia-sia. Sms saja, kalau bukan saya yg sms duluan, tidak akan mau dia sms saya. Padahal kalau saja dia bisa mengirim kata-kata. Walaupun cuma satu tanda titik, saya akan bisa hidup lebih baik.
Setidaknya saya bisa percaya lagi sama dia. Bukan karena saya tidak percaya sebelumnya. Tapi saya ingin percaya bahwa saya masih diingat. Saya masih dirindukan. Masih diinginkan. Kalau cuma diam, saya tidak tau apa-apa. Kalau kita bisa bertemu sehari-hari, seperti waktu di sekolah mungkin saya masih maklum. Setidaknya bisa liat dari raut wajahnya. Tapi kalau keadaan seperti ini, melihatmu saja tidak bisa. Kalau bukan dari kata-kata, saya bisa tahu apa? Apa yang bisa saya percaya? Apa yang bisa saya jadikan pegangan? Maaf, kalau saya terlalu lemah. Tapi saya memang rapuh kalau soal begini. 
Berapa bulan saya bertahan? Saya biarkan saja semua derita batin itu menyiksa malam-malam saya. Oh, saya jadi puitis. Tapi saya tidak tahu harus mengungkapkan semuanya bagaimana lagi. Biarlah saya jadi lebay dulu. Saya capek. Saya marah. Saya tersiksa. Sakit sekali.
Lalu kenapa tidak bilang langsung saja sama dia?
Jangan salah. Saya sudah berkali-kali mengeluh kok. Tiap kali saya merasa kemarahan saya memuncak, saya akan mengeluhkan apa yang saya rasa. Tapi dia menanggapinya biasa. Saya jadi kecewa. Dia malah minta putus, dia bilang dia memang bukan pacar yg baik, dia minta maaf karena sudah berubah. Dia punya masalah jadi dia seperti itu.
Bukan jawaban seperti itu yang saya inginkan. Saya mengeluh, karena saya ingin menuntaskan masalah yang terus menggerogoti pikiranku. Saya ingin mendiskusikan semuanya baik-baik. Saya ingin agar tidak ada lagi masalah sepele seperti ini, yg bikin saya marah. Saya ingin berbicara. Bukan ingin putus. Tapi, tiap kali saya mengeluh lagi, selalu jawabannya seperti itu. Kurang lebih lah.
Aish, saya bahkan tidak bisa menggambarkannya dengan benar. Saya butuh pencerahan dulu. Kita lanjutkan nanti ya.

그분이와 Part.3 (Dia dan Aku Bagian.3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar