-flashback-
Sebelumnya, saya sudah bercerita bagaimana saya bisa
jadian dengan 그분. Sekarang saya
akan melanjutkan cerita bagaimana kita bisa putus. Yup, kami udah putus.
Saya tidak tau apa saya yang berlebihan dalam
menanggapi hubungan ini, atau dia yang terlalu cuek. Yang saya tau, dia
berubah. Kata orang, kalau kita menganggap orang lain itu berubah, maka sebenarnya
kita lah yang berubah. Lalu apa yang saya harus lakukan? Saya tidak bisa menemukan
perubahan pada diri saya sendiri. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri. Saya
cuma bisa menemukan kalau semakin hari semakin saya tidak dianggap. Semakin dicuekin,
diacuhkan, tidak diperhatikan lagi.
Faktor jarak mungkin yang paling berperan. Karena kita
LDR. Dulu, saya pikir, tidak apa-apa. Saya akan terus menjaga semuanya, agar
tidak ada masalah yang berarti. Itu berhasil saya lakukan. Selama 1 tahun
pertama. Jujur, saya juga pernah curiga, jangan-jangan dia sudah jatuh cinta
lagi di sana. Atau jangan-jangan saya menjadi terlalu membosankan sekarang. Tapi
saya berusaha sebisa saya untuk menjauhkan pikiran-pikiran itu. saya orang
dengan mental lemah. Kalian tidak akan bisa membayangkan seberapa besarnya
perang batin dalam diri saya. Nyesek banget. Saya seperti kehabisan air mata,
kehabisan kata-kata.
Setahun berlalu, dia mulai jarang kirim kabar. Saya
yang panikan, hanya bisa bersabar. Sekali lagi ada yang berkecamuk dalam batin
saya. Rasanya ingin protes. Ingin marah. Ingin meluapkan segalanya. Tapi tiap
kali saya berusaha membuat percakapan, selalu saja ada hambatan. Entah masalah
pulsa. Masalah waktu yang tidak tepat. Atau sibuk. Yang jelasnya saya selalu
gagal bercerita. Ujung-ujungnya, saya jadi cerita yang tidak jelas, dan tidak
penting. Sekedar mencari perhatian. Soalnya saya juga tipe orang yang suka mengatakan hal yang sebaliknya sih. jadi untuk jujur, itu butuh usaha yang lebih. Hm.. mungkin itu yang bikin saya sampai menyebutnya "perang batin"?
Entah kenapa, rasanya beban yg saya tanggung waktu
itu begitu berat. Menunggu dan menunggu kabar dari dia. Tapi tidak ada satu
pun. Kemudian, saya kirim saja sms “I love you”, atau “I miss you” tiap malam. Karena
saya capek menunggu sesuatu yg tdk mungkin datang. Rasanya seperti dia tidak
akan mengirim apa2. Jangankan telpon, sms saja harus menunggu sampai seperti
ini. Impossible. Ngenes banget ya saya.
Kemudian, saya mendapat ide baru. ;)
Saya biarkan saja dia tidak mendapat sms apa-apa. Siapa
tau nanti dia akan mencari, dan akhirnya menanyakan saya. Ini sih ngarep yg
sia-sia. Sms saja, kalau bukan saya yg sms duluan, tidak akan mau dia sms saya.
Padahal kalau saja dia bisa mengirim kata-kata. Walaupun cuma satu tanda titik,
saya akan bisa hidup lebih baik.
Setidaknya saya bisa percaya lagi sama dia. Bukan karena
saya tidak percaya sebelumnya. Tapi saya ingin percaya bahwa saya masih
diingat. Saya masih dirindukan. Masih diinginkan. Kalau cuma diam, saya tidak
tau apa-apa. Kalau kita bisa bertemu sehari-hari, seperti waktu di sekolah
mungkin saya masih maklum. Setidaknya bisa liat dari raut wajahnya. Tapi kalau
keadaan seperti ini, melihatmu saja tidak bisa. Kalau bukan dari kata-kata,
saya bisa tahu apa? Apa yang bisa saya percaya? Apa yang bisa saya jadikan
pegangan? Maaf, kalau saya terlalu lemah. Tapi saya memang rapuh kalau soal
begini.
Berapa bulan saya bertahan? Saya biarkan saja
semua derita batin itu menyiksa malam-malam saya. Oh, saya jadi puitis. Tapi saya
tidak tahu harus mengungkapkan semuanya bagaimana lagi. Biarlah saya jadi lebay
dulu. Saya capek. Saya marah. Saya tersiksa. Sakit sekali.
Lalu kenapa tidak bilang langsung saja sama dia?
Jangan salah. Saya sudah berkali-kali mengeluh
kok. Tiap kali saya merasa kemarahan saya memuncak, saya akan mengeluhkan apa
yang saya rasa. Tapi dia menanggapinya biasa. Saya jadi kecewa. Dia malah minta
putus, dia bilang dia memang bukan pacar yg baik, dia minta maaf karena sudah
berubah. Dia punya masalah jadi dia seperti itu.
Bukan jawaban seperti itu yang saya inginkan. Saya
mengeluh, karena saya ingin menuntaskan masalah yang terus menggerogoti
pikiranku. Saya ingin mendiskusikan semuanya baik-baik. Saya ingin agar tidak
ada lagi masalah sepele seperti ini, yg bikin saya marah. Saya ingin berbicara.
Bukan ingin putus. Tapi, tiap kali saya mengeluh lagi, selalu jawabannya
seperti itu. Kurang lebih lah.
Aish, saya bahkan tidak bisa menggambarkannya
dengan benar. Saya butuh pencerahan dulu. Kita lanjutkan nanti ya.
그분이와 나 Part.3 (Dia
dan Aku Bagian.3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar